Sudah Masyhur kiranya, bila Maulid merupakan bulan dirayakannya hari kelahiran Nabi Muhammad SAW oleh hampir seluruh umat Muslim di penjuru dunia. Sebagai perayaan hari kelahiran, Maulid bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa, ada spirit luar biasa yang tentunya harus dihayati dan senantiasa digelorakan.
Di Indonesia, tanggal 12 Rabi’ul Awal telah ditetapkan sebagai “tanggal merah” untuk puncak perayaan Maulid Nabi. Sebagai hari besar keagamaan Islam yang menjadi hari libur nasional, segala pro-kontra yang mengiringi perayaan Maulid tentunya juga menjadi sorotan bersama. Polemik pro-kontra perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad masih saja terjadi tiap tahunnya. Seiring merebaknya ajaran sekte fundamentalis di Indonesia, suara-suara yang menganggap Maulid adalah bidah yang sesat lagi haram pun kian lantang, bahkan mulai anarkis.
Peringatan Maulid Nabi oleh mayoritas umat Islam diyakini bagian dari pokok syariat Islam, sebagaimana firman Allah; “Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah’ (QS.14.15). Perayaan Maulid secara masif memang tidak terdapat pada zaman Rasulullah SAW, zaman sahabat maupun tabiin. Namun, sebenarnya nabi sendiri merayakan hari kelahirannya dengan cara berpuasa setiap hari Senin dan Kamis. Perayaan nabi atas hari lahirnya itulah yang termasuk “hari Allah,” sehingga merayakannya juga merupakan manifestasi perintah Allah SWT. Jika merunut pada tarikh, Maulid pertama kali dilakukan oleh Shalahuddin al-Ayyubi, seorang sultan dari dinasti Mamalik Mesir, yang menjadi panglima pasukan Islam dalam perang Salib. Syahdan, perang antara umat Islam dengan umat Kristen Eropa itu berlarut-larut dan tidak jua muncul pemenangnya. Singkat cerita, kemudian ada fatwa jihad dari Paus Roma untuk seluruh pengikut Kristen Eropa. Maka, orang Kristen Eropa pun berbondong-bondong menyerbu daerah Islam kawasan Syria dan semangat perangnya kembali bergelora.
Melihat realitas itu, Sang Sultan dinasti Mamalik berkebangsaan Kurdi tersebut menitahkan membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad guna membakar semangat juang umat Islam agar terlecut pula memenangi perang Salib. Sultan al-Ayyubi memang terkenal cerdik dan bijaksana. Ia pintar membaca situasi dan berkeyakinan bahwa kemenangan perang tidak sekadar mengandalkan kekuatan pasukan dan strategi. Ada hal lain yang tak kalah penting, yakni semangat juang dalam perang yang harus selalu dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Berawal dari kecerdikan serta kepintarannya itu Islam memperoleh kemenangan.
Merayakan Spirit
Perayaan Maulid Nabi adalah sebentuk ekspresi suka cita atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayaan Maulid dikategorikan amaliah positif, karena merupakan salah satu bukti cinta kepada Rasulullah. Menurut keterangan dalam HR. al-Bukhari dan statement Ibnu Rajab, rasa cinta termasuk dari pondasi keimanan. Kecintaan atas Nabi Muhammad itu melengkapi rasa cinta kepada Allah, sebagaimana anjuran dalam QS. at-Taubah ayat 24. Rasulullah sendiri adalah seorang utusan Allah sekaligus rahmat bagi semesta alam, seperti termaktub dalam QS. al-Anbiyaa’ 107. Dengan adanya karunia rahmat itu, umat manusia dianjurkan untuk menyambutnya gembira. Hal itu tersurat dalam QS. Yunus ayat 58, “Katakanlah (Muhammad), Dengan karunia Allah dan dengan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.”
Ketika Allah meringankan siksa Abu Lahab setiap Senin karena dahulu bersuka citanya atas kelahiran Nabi Muhammad dengan memerdekakan budak perempuan bernama Tsuwaybah, sudah barang tentu umat Islam yang mau merayakan Maulid Nabi Muhammad akan mendapat “bonus” lebih. Apalagi jika dalam perayaan maulid Nabi dibacakan dzikir, shalawat ataupun madah-madah semisal al-Barzanji, ad-Dibai, Burdah, Simtud Durar dan lainnya yang berisi pujian serta kecintaan atas Nabi Muhammad. Nabi sendiri dalam hal ini kerap diibaratkan sebuah gelas yang penuh. Tatkala kita membaca shalawat atau madah kepadanya, berarti kita sedang mengisi gelas yang sudah penuh tersebut, sehingga airnya akan meluber. Air luberan yang tumpah itulah yang dianalogikan sebagai syafaat Nabi bagi umatnya.
Para ulama sejak abad ke-4 telah merayakan Maulid Nabi dengan aneka macam ibadah. Tidak terkhusus pada pembacaan syair pujian atas nabi, tapi juga bertadarus, bersedekah makanan, dzikir dan kegiatan positif lainnya. Perayaannya juga tidak terkhusus tanggal 12 Rabi’ul Awal saja. Jumhur Ulama mengatakan beliau lahir tanggal 12 bulan Rabi’ul Awal, ada yang mengatakan tanggal 8, ada pula yang mengatakan tanggal 21 Rabiul Awwal. Ada statement menarik dari Syekh Ali Jum’ah terkait adanya perbedaan tanggal hari lahir Nabi Muhammad SAW. Dari perbedaan itu, seolah-olah Allah SWT menyembunyikan kepastian hari kelahiran Rasulullah, serupa ketika Allah menyembunyikan kapan pastinya Lailatul Qadar. Menurut mantan mufti Mesir tersebut, justru ada hikmah tersirat yang mestinya bisa diambil. Yakni, hendaknya tidak merayakan hari kelahiran beliau pada satu hari saja di bulan Rabi’ul Awal, tapi merayakan selama sebulan penuh, bahkan hingga setahun penuh.
Hal itu telah dijelaskan pula oleh banyak ulama tarikh maupun hadits, di antaranya Ibnu Jauzi, Ibnu Katsir, Ibnu Dihyah al-Andalusi, Ibnu Hajar dan Jalaluddin al-Suyuthi. Para ulama fikih banyak pula yang menulis tentang keutamaan perayaan maulid Nabi dengan dalil-dalil yang sahih, seperti Ibnu al-Hajj dalam kitab al-Madkhalnya dan Imam Suyuthi dalam risalahnya yang berjudul “Husnul maqsid fi amal al-maulid.”
Terkait adanya penentangan dari pihak yang mengatakan Maulid adalah bidah yang sesat dan haram, ada baiknya kita kembali fokus pada spirit positif Maulid. Fakta historis telah membuktikan spirit Maulid mempunyai dampak positif nan signifikan bagi perjuangan Islam. Dalil Quran maupun hadits pun secara tersirat telah mendukung legalitas perayaan Maulid. Begitu juga dari literatur fikih. Kalaupun Maulid termasuk bidah, maka ia akan masuk pada bidah yang hasanah, alias hal baru yang positif. Tentang adanya pihak yang setuju atau tidak atas sebuah hal baru, itu adalah sebuah keniscayaan. Bukankah justru kita tidak boleh memaksakan ihwal baru yang masih diperdebatkan untuk “wajib” diterima atau ditolak semua pihak. Bahkan di Saudi, yang sejak dahulu paling getol menyuarakan Maulid adalah bidah, ada kubu ma’had ar-Ribath atau sosok syekh Qais al-Mubarak yang membolehkan perayaan Maulid.
Perayaan Maulid pada konteks sekarang, spiritnya bukan lagi untuk mengobarkan semangat juang perang dan memenangkan peperangan bersenjata. Fakta sejarah boleh mencatat bahwa spirit perayaan Maulid menjadi pelecut semangat umat Islam untuk mengenyahkan tentara Salib dari dunia Islam. Namun, adanya pergeseran dari spirit awal dirayakannya tidaklah mengurangi substansi spirit posiitif perayaan Maulid. Sebab, semangat juang yang harus terus digelorakan dan dijaga semangatnya tidak hanya berlaku untuk perang bersenjata, tapi bisa juga berlaku pada semangat juang (misal) memberantas korupsi, kriminalitas dan kemiskinan. Allahu a’lamu, shallu ‘ala nabi Muhammad.
Ahmad Muhakam Zein, Ketua Tanfidziyah V PCINU Mesir
Sumber : NU Online