1942 – 1952
Kelahiran Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI)
Pada masa penjajahan Jepang, MIAI masih diberi hak hidup oleh Pemerintah Penjajah Jepang. Malah suara MIAI tetap diijinkan untuk terbit selama isinya mengenai hal-hal berikut :
- Menyadarkan rakyat atas keimanan yang sebenar-benarnya dan berusaha dengan sekuat tenaga bagi kemakmuran bersama.
- Penerangan-penerangan dan tafsir Al Qur’an.
- Khutbah-khutbah dan pidato-pidato keagamaan yang penting dari para ulama’ atau kyai yang terkenal.
- Memberi keterangan kepada rakyat, bagaimana daya upaya Dai Nippon yang sesungguhnya untuk membangunkan Asia Timur Raya.
- Memperkenalkan kebudayaan Dai Nippon dengan jalan berangsur-angsur.
Akan tetapi setelah Letnan Jendral Okazaki selaku Gunseikan pada tanggal 7 Desember 1942 berpidato di hadapan para ulama’ dari seluruh Indonesia yang dipanggil ke istana Gambir Jakarta, yang isinya antara lain: Akan memberikan kedudukan yang baik kepada pemuda-pemuda yang telah dididik secara agama, tanpa membeda-bedakan dengan golongan lain asal saja memiliki kecakapan yang cukup dengan jabatan yang akan dipegangnya, maka sekali lagi Nahdlatul Ulama’ tampil ke depan untuk memelopori kalahiran dari Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi yang dianggap mampu membereskan segala macam persoalan kemasyarakatan; baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat politik, agar keinginan untuk menuju Indonesia Merdeka, bebas dari segala macam penjajahan segera dapat dilaksanakan. Dan setelah Masyumi lahir, maka MIAI pun dibubarkan.
Pembentukan laskar rakyat
Pemerintah Penjajah Jepang memang mempunyai taktik yang lain dengan Penjajah Belanda terhadap para ulama’ di Indonesia. Dari informasi yang diberikan oleh para senior yang dikirim oleh pemerintah Jepang ke Indonesia jauh sebelum masuk ke Indonesia (mereka menyamar sebagai pedagang kelontong dan lain sebagainya yang keluar masuk kampung), penjajah Jepang telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam serta menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, semuanya ta’at, patuh dan tunduk kepada komando yang diberikan oleh para ulama’.
Oleh karena itu, penjajah Jepang ingin merangkul para ulama’ untuk memukul bangsa Indonesia sendiri. Itulah sebabnya, maka dengan berbagai macam dalih dan alasan, penjajah Jepang meminta kepada para ulama’ agar memerintahkan kepada para pemuda untuk memasuki dinas militer, seperti Peta, Heiho dan lain sebagainya.
Sedang Nahdlatul Ulama’ sendiri mempunyai maksud lain, yaitu bahwa untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan, mutlak diperlukan pemuda-pemuda yang terampil mempergunakan senjata dan berperang. Untuk itu Nahdlatul Ulama’ berusaha memasukkan pemuda-pemuda Ansor dalam dinas Peta dan Hisbullah. Sedangkan untuk kalangan kaum tua, Nahdlatul Ulama’ tidak melupakan untuk membentuk Barisan Sabilillah dengan KH. Masykur sebagai panglimanya; meskipun sebenarnya selama penjajahan Jepang NU telah dibubarkan. Jadi peran aktif NU selama penjajahan Jepang adalah menggunakan wadah MIAI dan kemudian MASYUMI.
Masyumi menjelma sebagai Partai Politik
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Nahdlatul Ulama’ yang dibubarkan oleh penjajah Jepang bangkit kembali dan mengajak kepada seluruh ummat Islam Indonesia untuk membela dan mempertahankan tanah air yang baru saja merdeka dari serangan kaum penjajah yang ingin merebut kembali dan merampas kemerdekaan Indonesia.
Rais Akbar dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’, Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, mengeluarkana fatwa bahwa mempertahankan dan membela kemerdekaan Indonesia adalah wajib hukumnya. Seruan dan ajakan NU serta fatwa dari Rais Akbar ini mendapat tanggapan yang positif dari ummat Islam; dan bahkan berhasil menyentuh hati nurani arek-arek Surabaya, sehingga mereka tidak mau ketinggalan untuk memberikan andil yang tidak kecil artinya dalam peristiwa 10 November ’45.
Pengurus Besar NU hampir sebulan lamanya mencari jalan keluar untuk menanggulangi bahaya yang mengancam dari fihak penjajah yang akan menyengkeramkan kembali kuku-kuku penjajahannya di Indonesia. Kelambanan NU dalam hal tersebut disebabkan karena pada masa penjajahan Jepang NU hanya membatasi diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang bersifat agamis,sedang hal-hal yang menyangkut perjuangan kemerdekaan atau berkaitan dengan urusan pemerintahan selalu disalurkan dengan nama Masyumi.
Atas prakarsa Masyumi, di bawah pimpinan KH. Abdul Wahid Hasyim, maka Masyumi yang pada masa penjajahan Jepang merupakan federasi dari organisasi-organisasi Islam, mengadakan konggresnya di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945. Pada konggres tersebut telah disetujui dengan suara bulat untuk meningkatkan Masyumi dari Badan Federasi menjadi satu-satunya Partai Politik Islam di Indonesia dengan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ sebagai tulang punggungnya. Adapun susunan Dewan Pimpinan Partai Masyumi secara lengkap adalah sebagai berikut:
Majlis Syura (Dewan Partai)
|
||
Ketua Umum
|
:
|
Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
|
Ketua Muda I
|
:
|
Ki Bagus Hadikusuma
|
Ketua Muda II
|
:
|
KH. Abdul Wahid Hasyim
|
Ketua Muda III
|
:
|
Mr. Kasman Singodimejo
|
Anggota
|
:
|
1. RHM. Adnan.
2. H. Agus Salim. 3. KH. Abdul Wahab Hasbullah. 4. KH. Abdul Halim. 5. KH. Sanusi. 6. Syekh Jamil Jambek |
Pengurus Besar
|
||
Ketua
|
:
|
Dr. Sukirman
|
Ketua Muda I
|
:
|
Abi Kusno Tjokrosuyono
|
Ketua Muda II
|
:
|
Wali Al Fatah
|
Sekretaris I
|
:
|
Harsono Tjokreoaminoto
|
Sekretaris II
|
:
|
Prawoto Mangkusasmito
|
Bendahara
|
:
|
Mr. R.A. Kasmat
|
Nahdlatul Ulama Memisahkan Diri Dari Masyumi
Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Partai Masyumi benar-benar di luar keinginan Nahdlatul Ulama’. Sebab Nahdlatul Ulama’ selalu menyadari betapa pentingnya arti persatuan ummat Islam untuk mencapai cita-citanya. Itulah yang mendorong Nahdlatul Ulama’ yang dimotori oleh KH.Abdul Wahid Hasyim untuk mendirikan MIAI, MASYUMI, dan akhirnya mengorbitkannya menjadi Partai Politik. Bahkan Nahdlatul Ulama’ adalah modal pokok bagi existensi Masyumi, telah dibuktikan oleh Nahdlatul Ulama’ pada konggresnya di Purwokerto yang memerintahkan semua warga NU untuk beramai-ramai menjadi anggauta Masyumi. Bahkan pemuda-pemuda Islam yang tergabung dalam Ansor Nahdlatul Ulama’ juga diperintahkan untuk terjun secara aktif dalam GPII (Gabungan Pemuda Islam Indonesia).
Akan tetapi apa yang hendak dikata, beberapa oknum dalam Partai Masyumi berusaha dengan sekuat tenaga untuk menendang NU keluar dari Masyumi. Mereka beranggapan bahwa Majlis Syura yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam Masyumi sangat menyulitkan gerak langkah mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat politis. Apalagi segala sesuatu persoalan harus diketahui / disetujui oleh Majlis Syura, mereka rasakan sangat menghambat kecepatan untuk bertindak. Dan mereka tidak mempunyai kebebasan untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik. Akhirnya ketegangan hubungan antara ulama’/kyai dengan golongan intelek yang dianggap sebagai para petualang yang berkedok agama semakin parah. Karena keadaan semacam itu, maka para pemimpin PSII sudah tidak dapat menahan diri lagi. Mereka mengundurkan diri dari Masyumi dan aktif kembali pada organisasinya; sampai kemudian PSII menjadi partai.
Pengunduran diri PSII tersebut oleh pemimpin-pemimpin Masyumi masih dianggap biasa saja. Bahkan pada muktamar Partai Masyumi ke-IV di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 15 – 19 Desember 1949, telah diputuskan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Majlis Syura yang semula menjadi dewan yang tertinggi diubah menjadi Penasihat yang tidak mempunyai hak veto; dan nasihatnya sendiri tidak harus dilaksanakan.
Sikap Masyumi yang telah merendahkan derajat para ulama’ tersebut dapat ditolelir oleh warga Nahdlatul Ulama’. Namun PBNU masih berusaha keras untuk memperhatikan persatuan ummat Islam. Nahdlatul Ulama’ meminta kepada pimpinan-pimpinan Masyumi agar organisasi ini dikembalikan menjadi Federasi Organisasi-Organisasi Islam, sehingga tidak menyampuri urusan rumah tangga dari masing-masing organisasi yang bergabung di dalamnya. Namun permintaan ini tidak digubris, sehingga memaksa Nahdlatul Ulama’ untuk mengambil keputusan pada muktamar NU di Palembang, tanggal: 28 April s/d 1 Mei 1952 untuk keluar dari Masyumi, berdiri sendiri dan menjadi Partai.
Nahdlatul Ulama’ membentuk Liga Muslimin
Setelah Nahdlatul Ulama’ keluar dari Masyumi, Jam’iyyah NU yang sudah menjadi Partai Politik ternyata masih gandrung pada persatuan ummat Islam Indonesia. Untuk itu Nahdlatul Ulama’ mengadakan kontak dengan PSII dan PERTI membentuk sebuah badan yang berbentuk federasi dengan tujuan untuk membentuk masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum-hukum Allah dan sunnah Rasulullah saw. Gagasan NU ini mendapat tanggapan yang positif dari PSII dan PERTI, sehingga pada tanggal 30 Agustus 1952 diakan pertemuan yang mengambil tempat di gedung Parlemen RI di Jakarta, lahirlah Liga Muslimin Indonesia yang anggotanya terdiri dari Nahdlatul Ulama’, PSII, PERTI dan Darud Dakwah Wal Irsyad.
DEKADE 1965
Selama Nahdlatul Ulama’ menjadi Partai Islam, dalam gerak langkah nya mengalami pasang naik dan juga ada surutnya. Saat kabut hitam melingkupi awan putih wilayah nusantara pada tanggal 30 September 1965, kepeloporan Nahdlatul Ulama’ muncul dan mampu mengimbangi kekuatan anti Tuhan yang menamakan dirinya PKI (Partai Komunis Indonesia). Sikap Nahdlatul Ulama’ pada saat itu betul-betul sempat membuat kejutan pada organisasi-organisasi selain NU.
Keberhasilan Nahdlatul Ulama’ dalam menumbangkan PKI dapat diakui oleh semua fihak. Dan hal ini menambah kepercayaan Pemerintah terhadap Nahdlatul Ulama’. Nahdlatul Ulama’ sebagai Partai Politik sudah membuat kagum dan dikenal serta disegani oleh setiap orang di kawasan Indonesia, bahkan oleh dunia internasional. Apalagi mampu menumbangkan dan menumpas pemberontakan Partai Komunis yang belum pernah dapat ditumpas oleh negara yang manapun di seluruh dunia. Sehingga dengan demikian, Nahdlatul Ulama’ dihadapkan kepada permasalahan-permasalahan yang sangat komplek dengan berbagai tetek-bengeknya. Namun Nahdlatul Ulama’ sendiri dalam hal rencana perjuangannya yang terperinci, mengalami pembauran kepentingan partai dengan kepentingan pribadi dari para pimpinannya. Oleh sebab itu, pada sekitar tahun 1967, Nahdlatul Ulama’ yang sudah berada di puncak mulai menurun. Hal ini disebabkan antara lain oleh pergeseran tata-nilai, munculnya tokoh-tokoh baru, ketiadaan generasi penerus dan lain sebagainya.
Pergeseran tata-nilai ini terjadi di saat Nahdlatul Ulama’ menghadapi Pemilihan Umum tahun 1955. Nahdlatul Ulama’ harus mempunyai anggauta secara realita, terdaftar dan bertanda anggauta secara pasti. Demi pengumpulan suara, maka apa-apa yang menjadi tujuan Nahdlatul Ulama’, kini dijadikan nomor dua. Partai Nahdlatul Ulama’ membutuhkan anggauta sebanyak-banyaknya, sekalipun mereka bukan penganut aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Akibat dari pergeseran nilai inilah yang membuat kabur antara tujuan, alat dan sarana. Sebagai Partai Politik yang militan, Nahdaltul Ulama’ harus berusaha agar dapat merebut kursi Dewan Perwakilan Rakyat sebanyak mungkin; demikian pula halnya jabatan-jabatan sebagai menteri. Hal itu dimaksudkan sebagai alat untuk dapat melaksanakan program dalam mencapai tujuan partai. Akan tetapi karena pengaruh lingkungan dan juga karena pergeseran nilai, maka jabatan-jabatan yang semula dimaksudkan sebagai alat yang harus dicapai dan dimiliki, kemudian berubah menjadi tujuan. Dan hal ini sangat berpengaruh bagi kemajuan dan kemunduran partai dalam mencapai tujuan.
Pada sekitar tahun 1967/1968, Nahdlatul Ulama’ mencapai puncak keberhasilan. Akan tetapi sayang sekali, justeru pada saat itu ciri khas Nahdlatul Ulama telah menjadi kabur. Pondok Pesantren yang semula menjadi benteng terakhir Nahdlatul Ulama’ sudah mulai terkena erosi, sebagai akibat perhatian Nahdlatul Ulama’ yang terlalu dicurahkan dalam masalah-masalah politik.
PENYEDERHANAAN PARTAI-PARTAI
Pada pemilu tahun 1971, Nahdlatul Ulama’ keluar sebagai pemenang nomor dua. Hal tersebut membawa anggapan baru bagi masyarakat umum bahwa sebenarnya kepengurusan Nahdlatul Ulama’ adalah sebagai hal yang luar biasa; sementara di pihak lain terdapat dua partai yang tidak mendapatkan kursi sama sekali, yaitu Partai MURBA dan IPKI, yang berarti aspirasi politiknya terwakili oleh kelompok lain. Dari sinilah timbul gagasan untuk menyederhanakan partai-partai politik.
Kehendak menyederhanakan partai-partai politik tersebut, datangnya memang bukan dari Nahdlatul Ulama’. Akan tetapi Nahdlatul Ulama’ menyambut dengan gembira. Dan dalam penyederhanaan tersebut Nahdlatul Ulama’ tidak membentuk federasi, akan tetapi melakukan fusi. Namun demikian, ganjalan pun terjadi, karena memang masing-masing pihak yang berfusi mempunyai tata-nilai sendiri-sendiri.
Bagaimanakah kenyataannya?
Kehidupan politik yang ditentukan oleh golongan elit telah menyeret para pemimpin dan tokoh-tokoh Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ ke dalam kehidupan elit. Padahal kehidupan elit semacam ini tidak terdapat dalam tubuh Nahdlatul Ulama’. Sehingga kehidupan elit ini sebagai barang baru yang berkembang biak dan hidup subur di kalangan Nahdlatul Ulama’. Maka timbullah pola pemikiran baru yang mengarah kepada kehidupan individualis, agar tidak tergeser dari rel yang menuju kepada kehidupan elit. Dari fusi inilah rupa-rupanya yang membuat parah kondisi yang asli dari Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ sejak mula pertama didirikan sebagai jam’iyyah.
NAHDLATUL ULAMA KEMBALI KEPADA KHITTAH AN NAHDLIYAH
Selama Nahdlatul Ulama’ berfusi dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tata-nilai semakin berjurang lebar; sementara dalam tubuh Nahdlatul Ulama’ sendiri terdapat banyak ketimpangan dan kesimpang-siuran. Dalam kurun waktu yang lama, secara tidak disadari, Nahdlatul Ulama’ telah menjadi kurang peka dalam menanggapi dan mengantisipasi perkembangan keadaan, khususnya yang menyangkuat kepentingan ummat dan bangsa. Salah satu sebabnya adalah ketelibatan Nahdlatul Ulama’ secara berlebihan dalam kegiatan politik praktis; yang pada gilirannya telah menjadikan Nahdlatul Ulama’ tidak lagi berjalan sesuai dengan maksud kelahirannya, sebagai jam’iyyah yang ingin berkhidmat secara nyata kepada agama, bangsa dan negara. Bahkan hal tersebut telah mengaburkan hakekat Nahdlatul Ulama’ sebagai gerakan yang dilakukan oleh para ulama’. Tidak hanya sekedar itu saja yang sangat menyulitkan Nahdlatul Ulama’ dalam kancah politik selama berfusi dalam PPP; akan tetapi silang pendapat di kalangan NU sendiri semakin tajam, sehingga sempat bermunculan berbagai hepothesa tentang bagaimana dan siapa sebenarnya Nahdlatul Ulama’.
Dari kejadian demi kejadian dan bertolak dari keadaan tersebut, maka sangat dirasakan agar Nahdlatul Ulama’ secepatnya mengembalikan citranya yang sesuai dengan khittah Nahdlatul Ulama’ tahun 1926. Hal ini berarti bahwa Nahdlatul Ulama’ harus melepaskan diri dari kegiatan politik praktis secara formal, seperti yang telah diputuskan dalam Musyawarah Alim Ulama’ Nahdlatul Ulama’ (Munas NU) di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur tahun 1982.
(KEMBALI KE BAGIAN 1)
Disusun Oleh
Drs. KH. Achmad Masduqi
Sumber : PPSS Nurul Huda Online
1 COMMENT
[…] (BERSAMBUNG KE BAGIAN 2) […]