Tersebutlah kisah proses pendidikan anak di sebuah suku pedalaman. Suku dari etnis Indian ini memiliki cara unik untuk mendewasakan anak laki-laki mereka. Ketika seorang anak dianggap sudah cukup umur untuk menjadi dewasa, maka sang anak itu akan diuji. Tidak semua anak bisa langsung disebut dewasa tanpa lulus dari tes maha berat ini. Pada malam yang telah ditentukan, si anak akan dibawa pergi oleh seorang pria yang bukan keluargaya, dengan mata tertutup. Anak tersebut dibawa jauh ke tengah hutan belantara. Saat hari sudah gelap pekat, tutup akan matanya dibuka. Kemudian sang anak akan ditinggalkan sendirian.
Anak ini akan dinyatakan lulus dan diterima sebagai pria dewasa dalam komunitas jika selama malam ujian itu ia tidak berteriak atau menangis sampai pagi. Si anak harus mengikuti prosesi ini sendirian. Nyalinya benar-benar diuji. Waktu yang ditentukan itu terjadi di malam yang begitu gelap gulita, bahkan siapapun tidak dapat melihat telapak tangannya sendiri. Dengan kondisi ini, para anak-anak berusia tanggung pasti sangat ketakutan.
Si anak harus menyiapkan mental untuk menghadapi ganasnya alam. Hawa udara yang dingin. Celah-celah hutan yang mengeluarkan suara menyeramkan. Bebunyian dahan gemerisik. Tak jarang, bahkan beberapa kali terdapat suara auman serigala. Tentunya, ketakutan si anak semakin menjadi-jadi. Tetapi ia tidak punya pilihan lain, selain diam, tidak boleh berteriak, atau menangis agar lulus dalam ujian. Keringat dingin akan mengucur deras dari seluruh pori-pori tubuhnya. Jika bisa, ia akan pergunakan segala doa supaya secercah sinar mentari disegerakan muncul di ufuk timur.
Hingga akhirnya malam yang terasa paling lama dalam kehidupan si anak itu mulai berganti perlahan. Cahaya pagi mulai tampak sedikit demi sedikit. Kini, si anak merasakan kegirangan yang tiada tara. Ia begitu gembira, lalu melihat sekelilingnya. Dan betapa kagetnya, ketika tahu ternyata ayahnya berdiri tidak jauh di belakangnya. Sejak semalam suntuk sang ayah telah siap dengan berbagai senjata melindungi anaknya dari berbagai keganasan alam. Menjaga setiap jengkal lokasi anaknya sambil terus berdoa agar si anak tidak berteriak atau menangis atau bahkan keluar hutan.
Saudaraku, Andaikan kisah tersebut kita kaitkan dengan kehidupan. Dalam keseharian kita mengarungi beragam drama. Kita analogikan saja jika anak-anak suku Indian itu adalah manusia. Sementara ayahnya adalah Tuhan Sang Maha Perkasa. Maka betapa sering kita baru terkaget dan menyadari di akhir atau bahkan tak pernah kita sadari. Tak pernah tahu akan kehadiran Sang Maha Penjaga dan Maha Pelindung di setiap jengkal langkah kita. Tak pernah terbayang akan penjagaan dan kasih sayang-Nya.
Tuhan senantiasa bersama para hamba-Nya. Tak pernah sedetik pun melalaikan kita. Tak juga sejenak saja Tuhan membiarkan manusia hidup tanpa petunjuk di belantara hutan kehidupan dunia. Tuhan selalu dekat dalam bagaimana pun kondisi kita. Terlalu sering justru manusia yang melupakan Tuhan. Menyalahkan Tuhan yang Maha Baik. Menuduh Tuhan telah meninggalkannya. Mengira Tuhan telah berbuat tidak adil. Menuduh Tuhan tidak peduli. Padahal, di sebalik pengetahuan manusia yang sangat terbatas, Tuhan selalu dekat dengan segenap para hamba-Nya. Tuhan sangat penyayang dan peduli.
Dari kisah itu, kita juga bisa mengambil ibrah bahwa dalam mengarungi hidup, mutlak dibutuhkan ujian. Anak sekolah dan mahasiswa membutuhkan ujian untuk mengukur kelulusannya. Para pelamar pekerjaan juga akan diuji untuk menunjukkan kualitas mereka. Dalam dunia olahraga pun dibutuhkan tes seleksi. Ujian adalah keharusan. Ujian sebagai diferensiasi antara satu individu dengan individu lainnya. Tanpa ujian, maka di dunia akan terkesan tidak adil.
Atas beragam ujian, maka tugas kita manusia adalah menjalaninya dengan sepenuh hati. Yakini bahwa Allah tidak pernah memberi ujian diluar batas kemampuan hamba. Bahwa Tuhan tidak akan menimpakan ujian yang tidak ada hikmah dibalik itu. Bahwa ketika kita diuji, maka Tuhan sedang berada di dekat kita. Layaknya sang anak yang dalam ujiannya di malam yang pekat, ada sang ayah yang berada di dekatnya. Dialah pelindung. Bahkan sebagai imbalannya, Tuhan akan mengugurkan dosa-dosa sang hamba yang diuji, mengangkat derajat, hingga menguatkan iman dan takwanya.
(Muhammad Ridha Basri, Redaktur Majalah Kibar; mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)