Dalam perjalanannya tantangan yang di hadapi NU tidaklah ringan, tantangan itu bisa berasal dari dalam maupun luar NU. Salah satu tantangan dari luar adalah semakin massif dan agresifnya “kelompok islam murni” dalam menekan NU baik dari sisi ritual ibadah dan pandangan keagamaan NU. Namun demikian menurut saya tantangan terbesar dewasa ini adalah tantangan dari internal NU terutama perubahan sosial- budaya masyarakat/jama’ah NU. Perubahan NU secara garis besar perubahan sosial-budaya di masyarakat NU bisa dilihat pada gambar berikut. Arus perubahan ini paling signifikan didorong oleh setidaknya dua faktor yaitu migrasi besar-besaran masyarakat NU dari desa ke kota dan semakin meningkat dan beragamnya pendidikan masyarakat NU. Selain Itu semakin meningkatnya akses informasi terutama melalui media televisi dan internet juga semakin memperkaya cakrawala berpikir masyarakat NU.
Implikasi dari perubahan masyarakat ini pada akhirnya juga berpengaruh terhadap soliditas jejaring NU. Kita tahu bahwa inti kekuatan NU itu ada di pesantren dan Kyai nya. Semakin rasional dan independennya masyarakat NU maka “ketergantungan” mereka terhadap pesantren dan kyai juga cenderung akan semakin melemah. Bila dahulu pesantren dan kiai adalah tempat bertanya masyarakat tentang segala hal, maka ada kecenderungan pesantren dan kyai kini “hanya” sebagai tempat belajar agama.
Lalu apakah kita menjadi pesimis terhadap NU?, ternyata tidak, kita patut optimis dan berbangga ternyata tren dua tahun belakangan ini menunjukkan arus sebaliknya, setidaknya tiga bukti menunjukkan hal ini. Pertama, “Serangan” Balik Ideologi Aswaja, ditengah gencarnya “kelompok islam murni” yang mendesakkan pemahaman mereka ke masyarakat ternyata mampu dipatahkan oleh para kyai dan aktivis NU, penguasaan ilmu yang mendalam dan kaya adalah kunci kekuatan NU dalam menjaga ideologi Aswaja
Kedua, “Diaspora NU”. Lima tahun terakhir banyak kaum terdidik muda NU yang belajar di berbagai negara dari berbagai disiplin ilmu kembali “pulang” ke NU. Selain itu anak-anak muda NU yang berada di berbagai negara juga ikut mendirikan Cabang Istimewa di berbagai negara, di Jepang, Korea Selatan, Belanda, Jerman, Malaysia, Turki, Arab Saudi, dll. Mereka inilah generasi baru NU yang akan membawa energi baru bagi keberlanjutan NU. Mereka inilah yang menjadi duta Islam Nusantara yang ramah. Hal ini penting sebagai alternative bagi dunia yang selama ini mengenal Islam hanya terfokus pada timur tengah yang cenderung keras dan berhadap-hadapan dengan dengan barat. Dunia perlu diperkenalkan ada Islam Nusantara yang bersumber dari belahan dunia timur yang ramah, moderat, dan bisa bersanding dengan demokrasi.
Ketiga, “Gerakan Tasawwuf”, kehidupan dunia yang semakin modern dan duniawi seakan membuat manusia tercerabut dari naluri ilahiah membuat kelompok masyarakat kota mencari “pegangan” yang lebih kokoh. Inilah yang di sebut paradox, ditengah semakin menguatnya gairah duniawi ternyata semakin menguat pula majelis-majelis taklim di perkotaan baik di perkantoran maupun di berbagai kawasan kota. Tasawwuf menjadi pilihan warga kota karena mampu memberikan kedamaian hati bagi warga kota dibanding ajaran islam yang lain. Dan karena salah satu pilar utama NU adalah tasawwuf maka kita bisa melihat dan hampir bisa dipastikan tokoh-tokoh dan ulama yang terlibat di sana adalah tokoh NU.
Melihat fenomena diatas maka tidak salah bila komunitas NU juga masih terjaga kebesaran, survei Alvara Research Center tahun 2014 menemukan bahwa 58% masyarakat kota merasa terafiliasi dengan NU. Seandainya Mbah Hasyim atau Mbah Wahab masih hidup, tentu beliau merasa takjub dan “bunga” melihat fenomena ini.
Lalu pertanyaannya kenapa NU bisa tetap eksis ditengah perubahan zaman ini? Jawabannya tentu saja karena karomah para kiai yang mendirikan organisasi ini, beliau telah ikhlas mengorbankan segala daya untuk menjaga dan membesarkan organisasi ummat ini. Selain itu kecintaan kecintaan Kyai dan ummatnya terhadap Indonesia sangat kuat. Masyarakat NU mencintai Islam sekaligus mencintai Indonesia, seperti kata Mbah Hasyim “ Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak bersebrangan, Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan”.
Akhirnya dalam melihat masa depan NU kita tidak bisa lepas dari sejarah NU di masa lalu, dan sejarah telah membuktikan bahwa NU adalah organisasi yang paling bisa adaptif terhadap berbagai arus perubahan, sejak era Soekarno, Soeharto, dan sekarang era reformasi NU tetap menjadi organisasi yang tetap disegani dan diperhitungkan baik oleh kawan maupun lawan. Semoga.
Selamat Harlah ke-89 NU!
Sumber : NU Online