Setelah 89 tahun, NU sudah tersebar di mana-mana. Generasi NU lama yang merantau di kota-kota sudah beranak-pinak menghasilkan generasi NU baru. Kalangan sosiolog khawatir bahwa setelah orang NU pindah ke kota, maka cara beragama dan ghiroh ke-NU-annya akan luntur seperti orang kota kebanyakan. Ternyata kekhawatiran itu tidak sepenuhnya benar. Orang-orang NU yang tinggal di kota tetap bisa berkumpul satu sama lain, melaksanakan ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah ala NU, dan bahkan berhasil menarik tetangga dan teman-teman sekerjanya untuk ikut bergabung.
Ada hasil survey yang cukup menarik dilaporkan tahun lalu menjelang Pilpres 2014. Dari 1.400 responden muslim berusia 20-54 tahun di 10 kota besar di Indonesia: Jakarta, Bandung,Surabaya, Semarang, Medan, Palembang, Pekanbaru, Balikpapan, Banjarmasin dan Makassar menunjukkan bahwa sebanyak 58,8 warga muslim di perkotaan mengaku Nahdliyin. Jadi NU juga telah tersebar di kota-kota dengan caranya sendiri.
Sebagian warga NU juga berpetualang ke luar negeri, baik untuk bekerja dan belajar. Hasilnya terbentuk komunitas-komunitas NU di luar negeri. Saat ini telah ada puluhan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCINU) yang tersebar di Timur Tengah, sampai Eropa dan Amerika.
Perkembangan teknologi informasi juga sebenarnya telah membuka sekat desa dan kota, atau dalam dan luar negeri. Yang tidak terpikirkan beberapa tahun yang lalu, generasi NU di kota dan desa, di luar negeri, bahkan di dalam bilik pesantren dapat memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dengan sangat baik. Mereka saling bertukar informasi mengenai banyak hal mengenai agama. Pengajian-pengajian kitab kuning dari pesantren-pesantren juga secara cepat bisa disiarkan dan disebarkan lewat media-media informasi baru. Para “santri virtual” ini juga aktif melayani orang-orang yang haus ilmu dan sedang mencari guru agama di internet. Mereka menanggapi berbagai isu dan menjawab berbagai pertanyaan tentang agama secara cepat dari layar computer atau hanphone.
Setelah 89 tahun, pendidikan para santri pondok pesantren juga sangat beragam. Keputusan Menteri Agama KH Wahid Hasyim waktu itu untuk mengambil sebagian model pendidikan barat sebenarnya juga merupakan kelanjutan dari dinamika yang ada di Pesantren Tebuireng. KH Hasyim Asy’ari mengizinkan para santri belajar bahasa Belanda, huruf latin, ilmu bumi dan sejenisnya yang dikategorikan sebagai pelajaran umum. Beberapa tahun kemudian sebagian besar pesantren telah bermetamorfosa mengikuti berbagai kebijakan Kementerian Agama. Didirikan madrasah ibtidaiyah (SD), tsanawiyah (SMP) dan Aliyah (SMA) dan perguruan-perguruan tinggi Islam. Hasilnya, para alumni pesantren saat ini telah menduduki sektor-sektor formal.
Keputusan NU pada 1952 untuk berubah menjadi partai politik juga ada benarnya. Sejak itu banyak kader NU yang terjuh di gelanggang politik, bahkan sampai sekarang, setelah NU berusia 89 tahun. Pada 1984, bersama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) NU mendeklarasikan diri Kembali ke Khittah 1926, kembali menjadi jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah. Era Gus Dur ini juga menjadi penanda munculnya generasi NU baru yang aktif dalam berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sampai sekarang.
Sementara itu, sebagian generasi tua NU bahkan tokoh-tokoh utama NU sejak awal memilih menyekolahkan anak mereka di lembaga-lembaga pendidikan umum sampai perguruan-perguruan tinggi nasional terkemuka. Dan hasilnya adalah generasi-generasi baru NU lintas sektoral yang menduduki pos-pos penting di birokrasi, berbagai profesi dan bidang keahlian.
Muktamar ke-33 NU di Jombang tahun ini akan menjadi momen ‘pulang kampung’ bagi generasi baru NU yang telah lama merantau entah kemana: ke kota-kota, ke luar negeri, berwiraswasta, ke dunia politik dan pemerintahan, serta berbagai profesi dan bidang keahlian. (A. Khoirul Anam)
Sumber : NU Online