
Peradaban yang diprediksikan membentang dari Asia Tenggara hingga kawasan Morokko ini terwujud bila umat Islam mampu menjawab tantangan demi tantangan. Diantara tantangan itu ialah kemampuan mereka memahami sejarah secara arif dan bijaksana. Maksudnya, menurut Gus Dur, umat Islam dapat menjadi semakin “dewasa” dan tambah “matang” pada masa kini dan masa depan, karena berhasil belajar dari sejarah masa lampaunya juga sejarah bangsanya. Disitu sejarah menjadi keberkahan.
Mengingat pentingnya memahami sejarah, perlulah kiranya penulis esainya ini menghadirkan kembali pokok-pokok pikiran kiai kita ini. Selain dimaksudkan untuk mengetahui pandangan beliau mengenai sejarah, esai ini menjadi bahan renungan “(re)generasional” yang hanya karenanya semata esai ini terbit.
Bagi Gus Dur sendiri, sejarah tidaklah “semata” kegiatan ilmiah seperti dipraktekkan para sejarawan atau penulis dan pengumpul fakta-fakta. Sejarah terutama adalah humaniora, yakni pengetahuan yang bertujuan mengantarkan manusia lebih manusiawi, membuat manusia lebih berbudaya dan berprikemanusiaan, lebih arif dan bijaksana. Bukan sebaliknya, untuk memupuk prasangka dan kecurigaan atau mereproduksi dendam dan sikap negatif bagi generasi selanjutnya. Dan hal itu dapat dimungkinkan bila sejarah dilihat sebagai “kejadian demi kejadian (yang) tidak merupakan tahap-tahap yang berdiri sendiri, melainkan suatu rangkaian utuh dari masa yang sangat panjang untuk mencapai kedewasaan dan kematangan”. Dengan memandangnya sebagai humaniora, maka proses sejarah membawa berkah. (Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat, 84-88).
Jadi, ada tiga hal yang dapat kita garis bawahi dari pandangan Gus Dur. Pertama, fakta-fakta kejadian sangatlah penting untuk mencapai pemahaman akurat mengenai kebenaran peristiwa sejarah secara apa adanya. Kedua, penting pula meletakkan peristiwa sejarah itu dalam rangkaian narasinya yang utuh, sedemikian rupa sehingga pelajaran atau moral kejadian demi kejadian dalam cerita sejarah itu dapat sekaligus dipetik. Dan ketiga, sejarah menambah “kedewasaan dan kematangan” masyarakat untuk memosisikan diri dan mengorientasikan masyarakat secara tepat dan benar ke arah masa depan. Baru bila ketiga hal ini dicapai, sejarah dan buku-buku sejarah menjadi berkah.
Adakah sejarah yang tidak membawa berkah dan mengapa hal itu terjadi? Jawabannya ada. Gus Dur menunjukkan tiga macam hal atau sebab yang membuat sejarah tidak berkah. Pertama, tiadanya kejujuran intelektual dan konsistensi (dalam mencari kebenaran) dari para sejarawan sendiri. Ketidakjujuran itu diperlihatkan dari enggannya menerima sejarah secara apa adanya. Kelekatannya dengan lingkungan kepentingan kekuasaan, mengakibatkan mereka sulit mengambil jarak dengan objek sejarah yang diselidiki. Ada perselingkuhan antara proses produksi pengetahuan sejarah dengan produksi kekuasaan itu sendiri.
Kedua, ketidakakuratan pemahaman sejarah dapat berkaitan dengan kekeliruan dalam memberikan penjelasan kausalitas (sebab-akibat) kepada peristiwa demi peristiwa. Kekeliruan macam ini kerap terjadi di kalangan sejarawan atau pihak lain yang memanfaatkan catatan sejarah, akibat dari pengambilan kesimpulan yang dideduksikan berdasarkan satu sudut pandang, atau secara induktif berasal dari satu sudut kenyataan saja. Bisa jadi klaimnya ilmiah, tapi sesungguhnya berpikirnya ideologis. Padahal, kata Gus Dur, “kenyataan sejarah dan rasio tidaklah bisa disamakan begitu saja… Keruwetan sejarah sendiri menunjukkan kekalangkabutan sejarah itu juga” (Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, 60). Kiranya yang disebut “rasio” disini adalah rasio-murni atau rasio matematis yang membentuk ideal-ideal pikiran sejarahwan sendiri dalam obsesinya untuk memanipulasi, mengontrol dan menjelaskan kompleksitas kehidupan.
Ketiga, bagi aktor sejarah itu sendiri atau propagandis ideologi yang memanfaatkan data-data sejarah (fakta-fakta yang lalu) untuk kepentingan justifikasi diri, mereka berbangga-bangga terhadap kelompoknya sendiri hingga melupakan kejujuran dan objektivitas. Mereka mengagung-agungkan pandangannya sendiri yang celakanya disertai sikap merendahkan orang lain dan bersikap eksklusifyang tidak menghargai pihak lain. Dalam pandangan Gus Dur, sikap bangga disertai merendahkan pihak lain dalam sejarah itu mencerminkan apa yang dinyatakan dalam kitab suci Al-Qur’an “kullu hisbin bima ladaihi farihin”, bahwa setiap kelompok bersikap bangga atas apa yang dimilikinya. Padahal, lanjut Gus Dur, sikap mental bangga dan angkuh yang disertai merendahkan orang lain justru dikecam dan ditolak oleh Islam. “Itu tidak lain adalah sikap eksklusif… sebagaimana dibuktikan oleh sejarah, menjadi pangkal bencana bagi masyarakat apapun, di kawasan manapun di dunia ini” (“Kesabaran dan Kemurahan Hati”, Duta Masyarakat, 10 Januari 2003).
Maka hanya dengan memahami sejarah secara holistik dan jujur, kita akan dapat mengambil pelajaran. Memahami sejarah berarti juga menyangkut keterbukaan diri untuk mengambil aneka wawasan dalam kehidupan. Ia mendorong kita untuk “dengan sungguh-sungguh dan hati-hati agar semua pihak tidak mengulang kesalahan demi kesalahan sebelumnya” dan untuk selanjutnya menyongsong masa depan (“Arah Dua Pola Kehidupan [1]”, 10 Nopember 2003). Ini senada dengan ungkapan Ortega y Gasset, bahwa tanpa sejarah manusia laksana berenang di tengah samudera kebingungan. Hanya dengan mengingat masa lampau, manusia dapat bicara tentang masa depan.
Tandem “rasionalitas-dan-spiritualitas”: sejarah masa depan
Dengan membaca kembali dan merefleksikan sejarah lama, Gus Dur menemukan ritme itu atau hukum-hukum sejarah (Gus Dur juga menyebutnya “hukum alam”). Peristiwa-peristiwa penting dalam epos sejarah masa lampau yang bersifat partikular dicermati dan dianalisis. Lalu suatu bagian ideal tertentu diambilnya dari ayunan bandul dari dua aspek yang saling antagonistik (bertentangan) yang berlangsung dalam kehidupan sejarah itu. Berikutnya, telaah ritme-ritme itu dipertahankan atau dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan hidup dari sejarah masa kini.
Gus Dur melakukan suatu analisis meta-historis. Dengan membaca kembali sejarah lama, ia menampilkan bagaimana orang-orang/aktor-aktor sejarah pada masa lalu beradaptasi dengan lingkungannya berdasarkan “program hidup” mereka (misalnya: raja-raja dalam kerajaan Hindu dan kerajaan Budha, Kerajaan Hindu-Budha dan Kerajaan Islam, Islam dan Nasionalisme, keserba-rasionalistik-modern dan keserba-tradisionalan, Islam Moderat dan Islam ekstrem, keserba-liberal-an dan keserba-nonliberal-an, dan lain-lain). Dari kenyataan sejarah itu, lalu memperlihatkan bahwa hal-hal tertentu tidak mungkin bisa jalan, dan bahwa cara adaptasi tertentu suatu program ternyata tidak sesuai lagi dengan jaman atau sifat manusia yang hidup dalam tradisi itu.
Sejarah memiliki ritme. Dapat ditelaah dalam buku Membaca Sejarah Nusantara (2010) dan juga “Musuh Dalam Selimut” (Pengantar buku Ilusi Negara Islam), Gus Dur melakukan usaha keras untuk menyingkap dan menangkap ritme sejarah dalam epos-epos sejarahnusantara. Ritme sejarah bergerak sebagai manifestasi “pertarungan”antar aspek-aspek antagonistik (saling bertentangan) dalam kehidupan nyata yang sifatnya metafisik: yakni antara “al-nafs al-muthmainnah” (jiwa-jiwa yang tenang dan damai) dan “al-nafsal-lawwamah” (jiwa-jiwa yang resah dan penuh benci)dalam aneka manisfetasinya yang berbeda di setiap jaman. Dan seiring proses modernisasi, ritme sejarah memuat tarik menarik atau dialektika antara tuntutan hidup yang serba rasionalistik (termasuk hadirnya ragam ideologi) dan kehidupan nyata baik sejarah hidupmasyarakat, ruang batinnya maupun spiritualitas setempat yang telah berkembang.
Dalam dialektika sejarah yang sebagian diwarnai oleh tragedi demi tragedi (perang, pengkhianatan, pemberontakan, pembunuhan, dan lain-lain), Gus Dur menemukan insight (wawasan) atau semacam “cahaya pengetahuan”, yang lalu ia proyeksikan bagi kehidupan masa depan. Perjalanan sejarah ke masa depan kiranya harus dibimbing oleh cahaya pengetahuan itu agar tragedi demi tragedi serupa tak berulang, dan sekaligusmisi masa depan (demokrasi, keadilan dan kesejahteraan) dapat dicapai. Insight itu adalah berupa pentingnya “sikap berperhitungan alias sikap rasional, yang tidak membuang spiritualitas dan menggunakannya di samping rasio.…(sebagai) ‘pengarah hidup’ dalam menjalani kehidupan yang serba sulit ini”. Kita, lanjut Gus Dur, harus bersatu dalam spiritual seperti ini (“Bersatu Dalam Penderitaan”, Proaksi, 25 Januari 2005).
Menurut hemat penulis, pernyataan Gus Dur itu telah menyingkap apa yang disebut “rasio sejarah”(historical reason), yang ia temukan dalam perspektif tradisi kesejarahan yang dihidupinya. Yakni suatu “struktur halus” yang matang dalam perkembangan sejarah, yang manifes dan menggerakkan proses kehidupan. Maksud “tradisi kesejarahan yang dihidupi” adalah bahwa rasio sejarah itu ditangkap oleh Gus Dur dari pembacaan terhadap rangkaian tradisi panjang nusantara masa lampau dan masa kini dalam persinggungannya dengan peradaban-peradaban yang beragam (termasuk peradaban Barat) yang turut membentuk kehidupan suatu bangsa masa kini dan masa depan (masa depan sebagai proyeksi).
Rasio-sejarah temuan Gus Dur ini adalah tandem“rasionalitas-dan-spiritualitas” yang akan membimbing dan menggerakkan generasi selanjutnya dan peradaban manusia di masa-masa mendatang. “Kedewasaan dan kematangan” kita dalam menghadapi perkembangan kehidupan jaman akan juga ditentukan oleh manifestasi tandem tersebut dalam sejarahnya.
Akhirul kalam, sejarah adalah pelajaran. Masa lampau berguna bagi kita untuk “meramu berbagai pandangan dan ajaran yang sebenarnya saling bertentangan” pada masa lalu dan mencari keunggulan-keunggulan dari pandangan orang dan peradaban bangsa lain. Semua itu menjadi bagian dari bentuk pengembangan dengan gaya dan cara kita sendiri, yang digerakkan rasio sejarah itu untuk menerangi kehidupan dan membangun “program hidup” bagi generasi masa masa depan. Sejarah mengajarkan kesinambungan: memelihara apa-apa yang baik dari masa lalu dari manapun datangnya dan mengambil yang lebih baik dari masa kini untuk generasi di masa mendatang. []