Salah seorang cerdik-cendekia Eropa, sebagaimana dikisahkan kembali oleh Syeikh Tontowi Jauhari dalam tafsir ‘ilmi-nya Al-Jawahir, menulis sebuah buku berjudul al-Kuukhul Hindi yang berarti gubuk atau pondokan orang India. Di dalam buku tersebut diceritakan ada seorang masehi, pengikut Nabi Isa, hidup mengembara dari belahan bumi barat hingga timur. Ia mengelilingi negeri Mesir, Suriah, dan negeri-negeri lainya. Itu semua ia jalani demi mencari dan mendapatkan kebenaran yang sejati (al-haqq).
Dalam pengembaraannya yang panjang itu ia berjumpa dengan berbagai orang dengan latar belakang adat dan agama yang begitu beragam dan majemuk. Tak pelak, ia bertemu dengan pemeluk agama Islam, Kristen, dan Yahudi. Tetapi masing-masing orang dari berbagai agama tersebut berbeda satu sama lain dalam menilai hakikat kebenaran. Lalu ia berkata dalam hati, jika demikian di manakah letak kebahagiaan itu?
Kemudian sampailah ia di kawasan India dan bertemu dengan seorang brahmin, seorang pendeta dalam agama Hindu yang berkasta tinggi. Ia tidak diperbolehkan langsung menghadap pimpinan atau pemuka para brahmin di situ. Ada aturan ketat jika seseorang hendak bertemu dengan pimpinan para brahmin. Sudah menjadi tradisi dalam agama Hindu India jika seseorang mengalami problematika kehidupan yang pelik, ia akan menghadap seorang pemuka brahmana untuk meminta pertimbangan dan nasihat.
Setelah disuruh mandi pengembara masehi itu harus mengantre dulu di baris paling belakang bila ingin ketemu pimpinan brahmin. Sialnya, ketika ia sudah mengemukakan pertanyaan yang sangat diharapkan jawabannya, alih-alih jawaban memuaskan yang ia dapat, pertanyaanya malah menjadi bahan tertawaan dalam padepokan itu. Ia mengajukan pertanyaan, “dimanakah kebenaran itu (aina al-haqq)?” Mereka meremehkan pertanyaan macam itu, dianggap sepele dan tak bermutu.
Laki-laki masehi itu tidak menyerah mengembara melanjutkan perjalanannya. Hingga ia memergoki seorang wanita yang sedang menangis lantaran meratapi nasib hari-harinya yang senantiasa dirundung kesedihan. Penasaran ada perempuan menangis tampak merana, laki-laki masehi itu memberanikan diri bertanya, “Apa gerangan yang menimpamu?”
“Suami saya telah meninggal dunia, tapi saya tidak ikut masuk ke dalam kobaran api dan mati terbakar bersamanya. Di sini, tiap-tiap istri yang suaminya meninggal dan tidak ikut membakar diri dengan jasad suaminya sampai mati bersama-sama, akan dianggap perempuan yang najis. Aku ini najis, makanya tidak satu orang pun yang mau bicara dengan ku,” jawab si wanita bernasib malang itu.
“Kalau begitu aku senasib dengan kamu. Aku seorang masehi yang dianggap najis pula oleh kaumku,” kata laki-laki masehi itu.
Akhirnya kedua insan yang satu nasib tersebut sepakat menjadi pasangan suami istri. Keduanya memilih hidup di gurun. Sengaja menjauh dari hiruk-pikuk keramaian kota, di gurun itu mereka tak pernah mendengar carut-marutnya berita politik di negerinya. Juga tak terpengaruh tetek-bengek wacana-wacana perkumpulan yang bertebaran di kotanya. Walau begitu dalam keseharianya mereka dapat berbahagia menyaksikan sifat keindahan Allah dalam terbit dan terbenamnya matahari. Di gurun itu mereka juga bisa melihat indahnya bintang gemintang dan rembulan di malam hari, melihat eloknya alam melalui tumbuh-tumbuhan, sungai-sungai, hewan, dan udara dan panorama alam lainnya. Selanjutnya mereka dikaruniai anak yang makin membuat mereka menjadi tentram.
Sampailah pada suatu hari terdapat musafir yang ikut singgah di gubuk milik pasangan suami istri yang tinggal di gurun tersebut. Si musafir itu penasaran kenapa ada orang justru memilih berdomisili di tempat terpencil seperti ini. Kenapa mereka tidak pindah saja ke pemukiman yang sudah ramai. “Apakah kalian bisa bahagia berada di tempat macam ini?” tanya si musafir kepada pemilik pondokan masehi itu.
“Tiada tempat dalam semua kehidupan ini kecuali di situ aku dapat merasakan kebahagiaan. Keindahan Allah senantiasa memancar padaku melalui manifestasi alam ciptaanya. Bagiku kedaimaan juga terpantul dari pohon-pohon yang tumbuh, bunga-bunga yang mekar, sungai-sungai yang mengalir, burung-burung yang beterbangan, udara yang berhembus,” jawab laki-laki masehi itu.
“Lalu bagaimana kalian bisa bahagia dalam keadaan serba terbatas di pondokan sederhana yang terpencil begini,” si musafir mengejar jawaban.
“Mungkin diriku telah sampai pada level kematangan jiwa setelah ditempa aneka ujian-ujian berat, kesulitan-kesulitan, cobaan-cobaan dan kami bisa bersabar dan berdamai menghadapi semuanya itu. Akhirnya beban-beban itu hilang dengan sendirinya tidak terasa. Hingga ketetapan dan suasana hatiku sudah tidak lagi terpengaruh oleh faktor eksternal di luar, apa pun keadaannya, di kala kaya atau miskin, dalam susah atau senang, sehat atau sakit, sepi atau ramai, disaksikan orang lain maupun tidak,” jelas orang masehi.
“Bagaimana kamu bisa mengatakan bahwa pahit itu manis, gelap itu terang, ditimpa musibah justru menyenangkan, pedih bisa jadi nikmat. Itu keajaiban atau kamu berbicara ngacau?” sanggah musafir makin penasaran.
“Dengarkan wahai saudaraku, sesungguhnya puncak gunung yang tinggi menjulang itu begitu susah dan sulit untuk didaki. Tetapi bukannya bila sudah nyata bahwa di puncak gunung tersebut terdapat lanskap pemandangan yang indah, dapat disaksikan di sana bagaimana eloknya saat matahari menyembul di pagi hari, dan di senja hari ketika sang mentari tersebut pulang berjalan dengan perlahan menuju peraduannya dengan dikelilingi cahaya merah kesumba, juga suasana alami gunung yang memesona, bunyi cericit burung-burung yang terbang. Bila sudah nyata seperti itu, tentu beratnya rintangan mendaki bukan menjadi penghalang bahkan tak dirasakannya sebagai beban siksaan,” terang si masehi.
Setelah si musafir mendengarkan penjelasan dari si masehi, ia memuji dan menyatakan terima kasih atas pencerahan yang telah disampikan si masehi di mana ia justru tidak mendepatkan pengetahuan seperti ini sebelumnya di bangku sekolah yang ia tempuh.
Penggalan kisah seorang yang tidak disebutkan namanya oleh Syeikh Tantawi ini hendak menegaskan bahwa kebahagiaan manusia sejatinya bisa dirasakan sejak di dunia ini apapun dan bagaimanapun keadaan dan situasinya. Karena menurutnya hadirnya bahagia itu sumbernya adalah perasaan hati (al-wijdaan) yang mampu merenungkan alam ciptaan Tuhan sehingga lahir rasa takjub dan syukur. Tidakkah Allah telah berfirman, Perhatikanlah apa pun yang ada di langit dan di bumi….(QS, Yunus:101).
Apa yang ditekankan Syeikh Tantowi di atas seturut dengan pendapat Imam Ghazali yang menyatakan betapa pentingnya manusia untuk merenungi keajaiban-keajaiban alam ciptaan Allah. Sang Hujjatul Islam itu megungkap kata-kata dari seorang bijak bestari, “Cukuplah bagi anda merasai kenikmatan dan ketentraman di rumah, dengan cara memandang hiasan ciptaan Allah yang ada di langit”. ( Alhikmatu fi makhluqotitillah azza wajalla).
Maka dari itu menurut Imam Ghazali, jiwa manusia yang sehat ketika melihat atau memandang langit yang luas bisa memperoleh kenikmatan dan kesenangan. Allah menciptakan langit yang dilengkapi dengan warnanya sangat cocok untuk penglihatan, bahkan menyehatkan dan menguatkan mata. Wallahu a’lam. (M. Haromain)
Referensi:
– Syeih Tontowi Jauhari, Al-Jawahir“, Darul Kutub al-Ilmiah, Beirut, jilid 5.
– Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali, Alhikmatu fi Makhluqotitillah Azza wajalla.
– Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali, Alhikmatu fi Makhluqotitillah Azza wajalla.
Sumber : NU Online
1 COMMENT
Subhanallah, saya sangat suka melihat langit senja.