Mengapa saya mengagumi kesenian dalam puisi, musik dan sebagainya? Kebetulan ayah saya (Habib Ali bin Hasyim Bin Yahya) juga tokoh musik, beliau pegawai tata usaha Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kodya Pekalongan pada tahun ’60-an. Beliau yang menguasai 27 bahasa asing secara aktif ini mahir bermain violin. Ya, karena beliau terkenal sebagai seorang violist sehingga sering disebut ‘Ali Piyul’.
Apa yang saya pelajari dalam kesenian, khususnya musik, adalah bahwa satu sisi bisa menjadi ‘aalatul malaahi’, yakni sesuatu yang bisa melalaikan kita dari Allah. Tapi ada kalanya, musik justru mendorong dan mendatangkan ‘dzauq’ hingga kita ingat kepada Allah.
Sebagaimana Apollo pada waktu diterbangkan. Ketika roket pendorong terlepas dari badan utama apollo, ia pun terlepas dan ditinggalkan. Begitulah fungsi kesenian. Seperti Jalaluddin ar-Rumi yang mendatangkan ‘dzauq’ menggunakan musik.
Terselip dalam dunia seni musik bagaimana corak demokrasi yang indah. Kalau ada empat sampai lima violin, pasti ada satu yang berperan sebagai dynamo, perannya dominan. Kedua, ada alto yang bentuknya lebih besar. Lalu di belakangnya ada cello. Jadi kalau ada 25 buah violin, mustinya ada 5 cello dan altonya pun 5, dari oktaf satu, dua dan tiga.
Lalu dalam dunia opera terbuka ada konser orkestra seperti Beethoven, Mantovani, hingga Paul Mauriat. Atau yang sedang terkenal sekarang, Yani, seorang kelahiran Iran keturunan Yunani, yang mengkombinasikan budaya-budaya tua di dunia dalam satu orkestra, mulai dari China, Yunani, sampai India. Ada susunan alat musik berupa flute, klarinet, trombola, organ, piano, bass, gitar, kendang mambo, bongo, drum, timpani, dan sebagainya.
Anehnya, para musisi yang memainkan berbagai alat musik dalam satu orkestra ini tidak lepas dari koridornya. Setiap lagu diberikan hak antar violin, saxophone, flute sehingga mampu mendemokan masing-masing alat. Dikomando oleh seorang dirijen yang menguasai persis dan bisa membagi waktu.
Pada saat musisi saxophone mendapatkan jatah demo dari dirijen, musisi alat musik lain tidak ‘nyrimpung’. Itu saya kagum. Justru musisi-musisi lain bertugas menjadi backsound bagi pemain utama yang sedang berdemo, menciptakan satu iringan yang indah sekali. Dan musisi yang diberi kesempatan oleh dirijen tunduk, patuh, mengerti, dan siap untuk memainkan peran.
Dirijen siap untuk memimpin, dan para musisi siap dipimpin. Itulah bentuk orkestra yang luar biasa pada dasarnya. Jadi saat violin berdemo, musisinya akan memainkan sebaik mungkin sementara yang lain tidak ‘ngrusuhi’, tidak saling ambisi berebut satu sama lain. Indah suara musik itu, sehingga orang yang mendengar pun betah mendengarkannya.
Bila bangsa ini mau berkaca, kita melihat musik saja bisa malu, apalagi bila kita melihat Al-Qur’an. Apalagi Al-Qur’an, melihat kuburan saja kita malu. Lihat saja, makam Walisongo yang mana beliau-beliau telah ratusan tahun meninggal, tapi masih tetap bisa menjadi sebab nafkah banyak orang, bahkan merukunkan berbagai jenis manusia untuk berdzikir mengingat Allah dalam satu tempat.
Lha kita yang masih hidup justru tidak bisa merukunkan sesama orang. Kalah dengan mereka yang sudah wafat. Begitupun akan malu diri kita ketika kita belajar dari keharmonisan musik.
Semoga dengan seni dan budaya menjadi pelajaran untuk kita semua bagaimana kita belajar memberikan hak-hak kepada sesama kita, sehingga mewujudkan ‘baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur’. Saling mengayomi, bukan saling menghantam.
Transkrip sambutan beliau dalam Haflah Seni & Dakwah, Pekalongan, Muharram 1428 / Februari 2007. Artikel ini di transkrip oleh crew www.SantriJagad.org
Simak : Sarkub
1 COMMENT
Bila bangsa ini mau berkaca, kita melihat musik saja bisa malu, apalagi bila kita melihat Al-Qur’an. Apalagi Al-Qur’an, melihat kuburan saja kita malu